Aku beranjak bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk
mulai bersiap menuju ke sekolah. Setelah mandi, aku mengenakan seragam
sekolahku dan keluar dari kamar tidur menuju ruang makan. Di ruang makan,
adikku, Citra, bersama ibu telah menyelesaikan sarapan mereka dan sedang
menonton televisi, sementara Ayah sedang membaca Koran sambil meminum kopi.
“Ayo, Hino, segera habiskan sarapanmu. Adikmu udah nunggu dari tadi
supaya bisa pergi berbarengan bersamamu,” ujar Ibu.
“Kakak makan yang cepat yaa, Citra harus datang cepat karena menjadi
petugas upacara pagi ini,” Citra berkata dengan nada cemas.
“Iyaa. Dek. Sesudah kakak habisin sarapan, kita langsung berangkat,”
jawabku menenangkan adikku.
Setelah selesai sarapan, aku bergegas merapikan tempat makanku dan
meletakkan piring di tempat pencucian. Lalu, aku mulai mengenakan sepatu dan
mengambl tas sekolahku. Sebelum keluar, aku dan Citra berpamitan dengan kedua
orangtua kami.
“Hino dan Citra pergi sekolah ya, Bu, Pak,” ujarku dan Citra sambil
mencium kedua tangan orangtua kami satu persatu.
“Iyaa, hati-hati di jalan dan jangan ngebut, yaa,” jawab Ayah.
“Belajar yang semangatt!’ seru Ibu bersemangat.
“Siapp,
Yah, Bu!’ jawabku dan Citra dengan tersenyum.
Aku menyalakan motor yang diberikan ayah kepadaku untuk kugunakan
bersekolah, lalu aku dan Citra berangkat ke sekolah. Selain karena umurku yang
sudah cukup, dikarenakan letak sekolahku dan Citra berseberangan, ayah
memutuskan untuk memberikanku sepeda motor pada sebulan yang lalu agar aku
dapat berangkat bersama adikku ke sekolah dan melatihku untuk bertanggung jawab
memelihara kendaraan. Perjalanan kami ke sekolah cukup cepat dikarenakan
jalanan yang kami lalui juga tidak terlalu ramai dan macet. Setibanya di depan
gerbang sekolah Citra, dia pamitan dan segera masuk ke sekolah. Sementara itu,
di dekat gerbang sekolah, aku memperhatikan seorang anak laki-laki yang
kira-kira seumuranku, sedang berjualan makanan goreng. Aku merasa pernah melihat
anak laki-laki tersebut, tapi aku merasa ragu. Maka akupun menegurnya untuk
memastikan.
“Maaf, Mas. Kamu Hadi, yaa??” tanyaku.
“Iya, Mas,” jawabnya kemudian menoleh kepadaku.
“Wahh, Hino, lama tidak berjumpa yaa!” serunya lagi.
“Iyaa, Di. Jadi benar, kamu Hadi teman SD ku dulu kan?? Kok kamu jualan
disini? Kamu sekolah dimana sekarang? Kok, kamu ga sekolah hari ini, Di?”
tanyaku.
“Iya, No. Kegiatanku sekarang sehari-hari berjualan gorengan di depan SMP
ini. Aku sudah tidak melanjutkan sekolahku sejak tamat SMP. Walaupun aku sangat
ingin, tetapi orangtuaku sudah tidak sanggup untuk membiayai sekolahku. Jadi,
aku sekarang membantu perekonomian keluargaku dengan berjualan,” jawabnya
sambil berusaha tersenyum.
Aku tersentak dalam hati mendengar ucapan temanku itu. Saat beberapa
rekanku di sekolah sering bolos supaya tidak belajar, sementara Hadi yang
memiliki niat untuk belajar tetapi tidak bisa melanjutkan sekolah dikarenakan
ketidakmampuan biaya. Aku juga merasa iba mendengar jawaban temanku yang selalu
murah senyum itu. Selagi berpikir sejenak, tiba-tiba satpam sekolahku memanggil
supaya aku segera masuk ke dalam sekolah dan memparkirkan kendaraanku di area
parker sekolah karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
“Emm, iya, Di. Kalau gitu aku permisi dulu yaa. Tetap semangat berjualan,
Di!” ujarku.
“Iya, terima kasih, Hino. Kamu juga yang semangat belajarnya yaa!”
jawabnya dengan semangat sambil mengacungkan jari jempolnya kepadaku.
Akupun membalas mengacungkan jari jempolku, kemudian mulai masuk ke area
sekolah. Segera setelah memparkirkan motorku, aku masuk ke kelas dan
mempersiapkan diri untuk belajar pada hari ini. Kebetulan, hari ini ada
pelajaran favoritku, Biologi dan Matematika. Jadi aku merasakan lebih
bersemangat hari ini. Bel tanda jam pelajaran berbunyi, akupun memulai
pelajaranku di sekolah.
Setelah jam sekolah usai, aku
teringat kembali dengan temanku, Hadi yang berjualan gorengan di depan SMP
adikku itu. Aku memiliki niatan untuk membantunya dan salah satu cara yang terpikirkan
olehku adalah dengan membantunya agar dapat bersekolah kembali. Saat memikirkan
cara tersebut, akupun teringat tentang program beasiswa untuk siswa kurang
mampu yang pernah disampaikan oleh kepala sekolah beberapa waktu yang lalu. Akupun
bergegas menuju ruang kepala sekolah untuk menyampaikan niatanku membantu Hadi.
Ternyata ruang kepala sekolah sudah ditutup dan baru saja bapak kepala sekolah
akan meninggalkan sekolah dan berpapasan denganku tepat di depan ruangannya.
“Selamat sore, Pak,” salamku.
“Selamt sore, nak. Wah, Hino, ada
yang yang bisa bapak bantu?’ jawabnya ramah.
“Iya, pak. Maaf sebelumnya saya
mengganggu kepulangan bapak. Kalau boleh, saya ingin menanyakan sesuatu terkait
program beasiswa untuk siswa kurang mampu yang pernah bapak sampaikan beberapa
hari yang lalu,” kataku.
“Ohh, silahkan, Hino. Kamu mau
menanyakan apa?”
“Begini, Pak. Saya memiliki seorang
teman yang kurang mampu dan tidak dapat melanjutkan sekolah ke tingkat SMA.
Saat ini, kesehariannya adalah bekerja sebagai penjual gorengan di depan SMP 1
Curup. Saya berniatan untuk membantu teman saya tersebut agar dapat melanjutkan
pendidikannya, Pak. Menurut bapak, apakah pihak sekolah dapat membantunya agar
dapat bersekolah kembali?” tanyaku penuh harap.
“Ohh, baiklah. Mungkin saya bisa
membicarakan hal tersebut bersama dengan dewan sekolah untuk membantu temanmu.
Tapi, sebelum itu kita perlu mengetahui identitas dan kondisi sebenarnya dari
keluarga anak tersebut dan mengaji ulang apakah anak tersebut layak untuk mendapatkan
beasiswa kurang mampu. Hal ini dikarenakan keterbatasan sekolah untuk
menyediakan kuota penerima beasiswa tersebut,” jawab Pak Kepala Sekolah.
“Terima kasih, Pak. Untuk tanggapan
positif yang bapak berikan, semoga teman saya dapat menjadi salah satu penerima
beasiswa tersebut,” ujarku tersenyum.
“Terima kasih kembali, Hino. Bapak
bangga memiliki siswa yang kritis dan peduli terhadap sesama seperti kamu.
Secepatnya Bapak akan memberikanmu kabar tentang niat baikmu ini,” kata Pak
Kepala Sekolah membalas senyumku.
“Kalau begitu, saya pamit pulang
dulu, Pak,” ujarku sambil menyalam pak Kepala Sekolah.
Setelah itu, aku menuju area parkir
sekolah dan mengeluarkan motorku dari area sekolah. Tak lupa pula aku menjemput
Citra yang sudah berdiri di depan gerbang sekolahnya. Saat menjemput Citra, Hadi
sudah tidak berjualan lagi di depan sekolah, mungkin karena sudah sore hari,
pikirku.
Pada malam hari, setelah makan
malam, aku berbincang bersama keluargaku di ruang keluarga sebelum melanjutkan
belajar. Akupun mencoba menanyakan tentang Hadi kepada Citra.
“Dek, kamu tahu pedagang gorengan
yang berjualan di depan sekolahmu?” tanyaku pada Citra.
“Iya, kak. Citra tahu pedagang yang
berjualan gorengan itu. Dia baru berjualan di
depan sekolah Citra semenjak beberapa minggu ini, tetapi teman-teman di
sekolah Citra banyak yang sudah mengenalnya karena dia ramah dalam melayani
kami sewaktu membeli barang dagangannya,” jawab Citra.
“Ohh, begitu yaa, dek,” ujarku
sambil tersenyum.
Aku menjadi
senang mendengar pernyataan dari Citra tentang Hadi. Ternyata Hadi tetaplah
seperti Hadi yang aku kenal sewaktu SD, Hadi yang murah senyum. Semangat, dan
selalu ramah kepada siapapun. Akupun menjadi semakin bersemangat untuk membantu
Hadi agar dapat bersekolah kembali dam melanjutkan pendidikannya.
Beberapa hari setelah itu, aku
selalu bertemu Hadi saat mengantarkan Citra ke sekolah. Kali ini aku selalu
menyempatkan diri untuk mengobrol bersama Hadi sekaligus membeli beberapa
dagangannya. Mungkin akan sedikit membantu penghasilannya, pikirku. Tapi, pada
suatu hari kira-kira seminggu kemudian, aku tidak mellihat Hadi berjualan di
depan sekolah Citra. Akupun langsung masuk ke sekolah sesaat setelah
mengantarkan Citra. Kemudian pada hari yang sama, saat waktu istirahat, aku
mendapat panggilan melalui speaker sekolah bahwa aku dipanggil ke ruang kepala
sekolah.
“Permisi, Pak,” salamku begitu masuk
ke ruangan kepala sekolah.
“Iya, silahkan masuk, Hino,” jawab kepala
sekolah.
Akupun terkejut begitu masuk ke
dalam ruangan kepa sekolah. Ternyata, di ruang kepala sekolah ada Hadi dan
ayahnya sedang mengobrol bersama kepala sekolah. Yang membuatku lebih terperangah
adalah sosok Hadi mengenakan pakaian seragam sekolah yang sama denganku.
“Hai, Hino,” sapa Hadi dengan
tersenyum sumringah.
“Halo, Hadi,” jawabku dengan senyum
yang lebih sumringah dari pada Hadi dan berusaha menahan air mata terharuku
yang tertahan di ujung mata.
“Begini, Hino,” ujar kepala sekolah.
“Bapak sudah menceritakan kepada dewan sekolah tentang niatan baikmu
untuk membantu Hadi agar dapat bersekolah kembali. Kemudian, berdasarkan rapat
dewan sekolah dan beberapa guru, kami memutuskan untuk membantu Hadi agar dapat
bersekolah di SMA ini dengan memberikan beasiswa penuh. Tapi dengan syarat,
Hadi tidak boleh tinggal kelas sekalipun. Kemudian setelah keputusan tersebut,
Bapak menghubungi orang sekitar yang tahu lokasi rumah Hadi dan memastikan
kembali apakah kondisi keluarganya memungkinkan agar Ia layak mendapat bantuan beasiswa. Setelah
itu, Bapak langsung mendatangi orangtua
Hadi untuk mempersiapkan segala kebutuhan administrasi sekolah. Sekarang, Hadi
dapat bersekolah di SMA ini dan melanjutkan pendidikannya,” kata kepala sekolah
menjelaskan.
“Nak Hino, terima kasih, yaa.. karena telah peduli dengan Hadi dan
berusaha membantu Hadi agar dapat bersekolah kembali,” sambung Pak Jono, ayah
Hadi.
“I….Iy…Iyaa, Pak, itu juga berkat bantuan dari kepala sekolah yang
mengusahakan semua ini,” jawabku gugup menahan rasa haru.
“Kamu ini selalu merendah, Hino,” ujar kepala sekolah tersenyum.
“Nahh, sekarang. Kamu dan Hadi
dapat bersekolah bersama. Kebetulan Hadi akan dimasukkan ke kelas yang sama
denganmu, Hino. Bapak harap kamu dapat membantu Hadi untuk mengejar
ketertinggalan materi sekolah dan membantu beradaptasi dengan lingkungan
sekolah,” sambung kepala sekolah.
“Siapp, Pak!” jawabku bersemangat.
“Untuk Hadi, bapak harap kamu dapat belajar dengan semangat di sekolah
ini. Jangan sia-siakan kesempatan yang telah diberikan dan juga berterima kasih
juga kepada Hino yang telah berusaha membantumu agar dapat bersekolah kembali,”
kata kepala sekolah pada Hadi.
“Iya, Pak,,” jawab Hadi.
“Terima kasih, ya, Hino. Berkat bantuanmu, aku bisa melanjutkan sekolah
dan kita bisa bersekolah bersama,” ujar Hadi padaku sambil menyalam tanganku.
Akupun membalas ucapan terima kasihnya kemudian langsung memeluk Hadi
untuk melepaskan rasa terharuku.
Setelah itu, aku dan Hadi berpamitan kepada kepala sekolah dan Pak Jono
untuk masuk ke kelas. Di kelas, Hadi memperkanalkan dirinya dan membaur dengan cepat bersama teman-teman lainnya di
kelasku. Aku sangat senang karena dapat membantu temanku, Hadi, agar dapat
bersekolah kembali. Dalam hatiku, aku memiliki niatan untuk membantu lebih
banyak orang lagi yang membutuhkan, dimulai dari orang-orang yang berada di
dekatku karena aku tahu bahwa dengan membantu sesama akan membantuku
mengembangkan sikap simpati dan empati,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar