Sabtu, 22 April 2017

Hino: Membantu Teman Lama

Aku beranjak bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk mulai bersiap menuju ke sekolah. Setelah mandi, aku mengenakan seragam sekolahku dan keluar dari kamar tidur menuju ruang makan. Di ruang makan, adikku, Citra, bersama ibu telah menyelesaikan sarapan mereka dan sedang menonton televisi, sementara Ayah sedang membaca Koran sambil meminum kopi.
“Ayo, Hino, segera habiskan sarapanmu. Adikmu udah nunggu dari tadi supaya bisa pergi berbarengan bersamamu,” ujar Ibu.
“Siapp, bu! Hehehe,” jawabku semangat sambil tersenyum.
“Kakak makan yang cepat yaa, Citra harus datang cepat karena menjadi petugas upacara pagi ini,” Citra berkata dengan nada cemas.
“Iyaa. Dek. Sesudah kakak habisin sarapan, kita langsung berangkat,” jawabku menenangkan adikku.
Setelah selesai sarapan, aku bergegas merapikan tempat makanku dan meletakkan piring di tempat pencucian. Lalu, aku mulai mengenakan sepatu dan mengambl tas sekolahku. Sebelum keluar, aku dan Citra berpamitan dengan kedua orangtua kami.
“Hino dan Citra pergi sekolah ya, Bu, Pak,” ujarku dan Citra sambil mencium kedua tangan orangtua kami satu persatu.
“Iyaa, hati-hati di jalan dan jangan ngebut, yaa,” jawab Ayah.
“Belajar yang semangatt!’ seru Ibu bersemangat.
            “Siapp, Yah, Bu!’ jawabku dan Citra dengan tersenyum.
Aku menyalakan motor yang diberikan ayah kepadaku untuk kugunakan bersekolah, lalu aku dan Citra berangkat ke sekolah. Selain karena umurku yang sudah cukup, dikarenakan letak sekolahku dan Citra berseberangan, ayah memutuskan untuk memberikanku sepeda motor pada sebulan yang lalu agar aku dapat berangkat bersama adikku ke sekolah dan melatihku untuk bertanggung jawab memelihara kendaraan. Perjalanan kami ke sekolah cukup cepat dikarenakan jalanan yang kami lalui juga tidak terlalu ramai dan macet. Setibanya di depan gerbang sekolah Citra, dia pamitan dan segera masuk ke sekolah. Sementara itu, di dekat gerbang sekolah, aku memperhatikan seorang anak laki-laki yang kira-kira seumuranku, sedang berjualan makanan goreng. Aku merasa pernah melihat anak laki-laki tersebut, tapi aku merasa ragu. Maka akupun menegurnya untuk memastikan.
“Maaf, Mas. Kamu Hadi, yaa??” tanyaku.
“Iya, Mas,” jawabnya kemudian menoleh kepadaku.
“Wahh, Hino, lama tidak berjumpa yaa!” serunya lagi.
“Iyaa, Di. Jadi benar, kamu Hadi teman SD ku dulu kan?? Kok kamu jualan disini? Kamu sekolah dimana sekarang? Kok, kamu ga sekolah hari ini, Di?” tanyaku.
“Iya, No. Kegiatanku sekarang sehari-hari berjualan gorengan di depan SMP ini. Aku sudah tidak melanjutkan sekolahku sejak tamat SMP. Walaupun aku sangat ingin, tetapi orangtuaku sudah tidak sanggup untuk membiayai sekolahku. Jadi, aku sekarang membantu perekonomian keluargaku dengan berjualan,” jawabnya sambil berusaha tersenyum.
Aku tersentak dalam hati mendengar ucapan temanku itu. Saat beberapa rekanku di sekolah sering bolos supaya tidak belajar, sementara Hadi yang memiliki niat untuk belajar tetapi tidak bisa melanjutkan sekolah dikarenakan ketidakmampuan biaya. Aku juga merasa iba mendengar jawaban temanku yang selalu murah senyum itu. Selagi berpikir sejenak, tiba-tiba satpam sekolahku memanggil supaya aku segera masuk ke dalam sekolah dan memparkirkan kendaraanku di area parker sekolah karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
“Emm, iya, Di. Kalau gitu aku permisi dulu yaa. Tetap semangat berjualan, Di!” ujarku.
“Iya, terima kasih, Hino. Kamu juga yang semangat belajarnya yaa!” jawabnya dengan semangat sambil mengacungkan jari jempolnya kepadaku.
Akupun membalas mengacungkan jari jempolku, kemudian mulai masuk ke area sekolah. Segera setelah memparkirkan motorku, aku masuk ke kelas dan mempersiapkan diri untuk belajar pada hari ini. Kebetulan, hari ini ada pelajaran favoritku, Biologi dan Matematika. Jadi aku merasakan lebih bersemangat hari ini. Bel tanda jam pelajaran berbunyi, akupun memulai pelajaranku di sekolah.
            Setelah jam sekolah usai, aku teringat kembali dengan temanku, Hadi yang berjualan gorengan di depan SMP adikku itu. Aku memiliki niatan untuk membantunya dan salah satu cara yang terpikirkan olehku adalah dengan membantunya agar dapat bersekolah kembali. Saat memikirkan cara tersebut, akupun teringat tentang program beasiswa untuk siswa kurang mampu yang pernah disampaikan oleh kepala sekolah beberapa waktu yang lalu. Akupun bergegas menuju ruang kepala sekolah untuk menyampaikan niatanku membantu Hadi. Ternyata ruang kepala sekolah sudah ditutup dan baru saja bapak kepala sekolah akan meninggalkan sekolah dan berpapasan denganku tepat di depan ruangannya.
            “Selamat sore, Pak,” salamku.
            “Selamt sore, nak. Wah, Hino, ada yang yang bisa bapak bantu?’ jawabnya ramah.
            “Iya, pak. Maaf sebelumnya saya mengganggu kepulangan bapak. Kalau boleh, saya ingin menanyakan sesuatu terkait program beasiswa untuk siswa kurang mampu yang pernah bapak sampaikan beberapa hari yang lalu,” kataku.
            “Ohh, silahkan, Hino. Kamu mau menanyakan apa?”
            “Begini, Pak. Saya memiliki seorang teman yang kurang mampu dan tidak dapat melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Saat ini, kesehariannya adalah bekerja sebagai penjual gorengan di depan SMP 1 Curup. Saya berniatan untuk membantu teman saya tersebut agar dapat melanjutkan pendidikannya, Pak. Menurut bapak, apakah pihak sekolah dapat membantunya agar dapat bersekolah kembali?” tanyaku penuh harap.
            “Ohh, baiklah. Mungkin saya bisa membicarakan hal tersebut bersama dengan dewan sekolah untuk membantu temanmu. Tapi, sebelum itu kita perlu mengetahui identitas dan kondisi sebenarnya dari keluarga anak tersebut dan mengaji ulang apakah anak tersebut layak untuk mendapatkan beasiswa kurang mampu. Hal ini dikarenakan keterbatasan sekolah untuk menyediakan kuota penerima beasiswa tersebut,” jawab Pak Kepala Sekolah.
            “Terima kasih, Pak. Untuk tanggapan positif yang bapak berikan, semoga teman saya dapat menjadi salah satu penerima beasiswa tersebut,” ujarku tersenyum.
            “Terima kasih kembali, Hino. Bapak bangga memiliki siswa yang kritis dan peduli terhadap sesama seperti kamu. Secepatnya Bapak akan memberikanmu kabar tentang niat baikmu ini,” kata Pak Kepala Sekolah membalas senyumku.
            “Kalau begitu, saya pamit pulang dulu, Pak,” ujarku sambil menyalam pak Kepala Sekolah.
            Setelah itu, aku menuju area parkir sekolah dan mengeluarkan motorku dari area sekolah. Tak lupa pula aku menjemput Citra yang sudah berdiri di depan gerbang sekolahnya. Saat menjemput Citra, Hadi sudah tidak berjualan lagi di depan sekolah, mungkin karena sudah sore hari, pikirku.
            Pada malam hari, setelah makan malam, aku berbincang bersama keluargaku di ruang keluarga sebelum melanjutkan belajar. Akupun mencoba menanyakan tentang Hadi kepada Citra.
            “Dek, kamu tahu pedagang gorengan yang berjualan di depan sekolahmu?” tanyaku pada Citra.
            “Iya, kak. Citra tahu pedagang yang berjualan gorengan itu. Dia baru berjualan di  depan sekolah Citra semenjak beberapa minggu ini, tetapi teman-teman di sekolah Citra banyak yang sudah mengenalnya karena dia ramah dalam melayani kami sewaktu membeli barang dagangannya,” jawab Citra.
            “Ohh, begitu yaa, dek,” ujarku sambil tersenyum.
Aku menjadi senang mendengar pernyataan dari Citra tentang Hadi. Ternyata Hadi tetaplah seperti Hadi yang aku kenal sewaktu SD, Hadi yang murah senyum. Semangat, dan selalu ramah kepada siapapun. Akupun menjadi semakin bersemangat untuk membantu Hadi agar dapat bersekolah kembali dam melanjutkan pendidikannya.
            Beberapa hari setelah itu, aku selalu bertemu Hadi saat mengantarkan Citra ke sekolah. Kali ini aku selalu menyempatkan diri untuk mengobrol bersama Hadi sekaligus membeli beberapa dagangannya. Mungkin akan sedikit membantu penghasilannya, pikirku. Tapi, pada suatu hari kira-kira seminggu kemudian, aku tidak mellihat Hadi berjualan di depan sekolah Citra. Akupun langsung masuk ke sekolah sesaat setelah mengantarkan Citra. Kemudian pada hari yang sama, saat waktu istirahat, aku mendapat panggilan melalui speaker sekolah bahwa aku dipanggil ke ruang kepala sekolah.
            “Permisi, Pak,” salamku begitu masuk ke ruangan kepala sekolah.
            “Iya, silahkan masuk, Hino,” jawab kepala sekolah.
            Akupun terkejut begitu masuk ke dalam ruangan kepa sekolah. Ternyata, di ruang kepala sekolah ada Hadi dan ayahnya sedang mengobrol bersama kepala sekolah. Yang membuatku lebih terperangah adalah sosok Hadi mengenakan pakaian seragam sekolah yang sama denganku.
            “Hai, Hino,” sapa Hadi dengan tersenyum sumringah.
            “Halo, Hadi,” jawabku dengan senyum yang lebih sumringah dari pada Hadi dan berusaha menahan air mata terharuku yang tertahan di ujung mata.
            “Begini, Hino,” ujar kepala sekolah.
“Bapak sudah menceritakan kepada dewan sekolah tentang niatan baikmu untuk membantu Hadi agar dapat bersekolah kembali. Kemudian, berdasarkan rapat dewan sekolah dan beberapa guru, kami memutuskan untuk membantu Hadi agar dapat bersekolah di SMA ini dengan memberikan beasiswa penuh. Tapi dengan syarat, Hadi tidak boleh tinggal kelas sekalipun. Kemudian setelah keputusan tersebut, Bapak menghubungi orang sekitar yang tahu lokasi rumah Hadi dan memastikan kembali apakah kondisi keluarganya memungkinkan agar  Ia layak mendapat bantuan beasiswa. Setelah itu, Bapak  langsung mendatangi orangtua Hadi untuk mempersiapkan segala kebutuhan administrasi sekolah. Sekarang, Hadi dapat bersekolah di SMA ini dan melanjutkan pendidikannya,” kata kepala sekolah menjelaskan.
“Nak Hino, terima kasih, yaa.. karena telah peduli dengan Hadi dan berusaha membantu Hadi agar dapat bersekolah kembali,” sambung Pak Jono, ayah Hadi.
“I….Iy…Iyaa, Pak, itu juga berkat bantuan dari kepala sekolah yang mengusahakan semua ini,” jawabku gugup menahan rasa haru.
“Kamu ini selalu merendah, Hino,” ujar kepala sekolah tersenyum.
 “Nahh, sekarang. Kamu dan Hadi dapat bersekolah bersama. Kebetulan Hadi akan dimasukkan ke kelas yang sama denganmu, Hino. Bapak harap kamu dapat membantu Hadi untuk mengejar ketertinggalan materi sekolah dan membantu beradaptasi dengan lingkungan sekolah,” sambung kepala sekolah.
“Siapp, Pak!” jawabku bersemangat.
“Untuk Hadi, bapak harap kamu dapat belajar dengan semangat di sekolah ini. Jangan sia-siakan kesempatan yang telah diberikan dan juga berterima kasih juga kepada Hino yang telah berusaha membantumu agar dapat bersekolah kembali,” kata kepala sekolah pada Hadi.
“Iya, Pak,,” jawab Hadi.
“Terima kasih, ya, Hino. Berkat bantuanmu, aku bisa melanjutkan sekolah dan kita bisa bersekolah bersama,” ujar Hadi padaku sambil menyalam tanganku.
Akupun membalas ucapan terima kasihnya kemudian langsung memeluk Hadi untuk melepaskan rasa terharuku.
Setelah itu, aku dan Hadi berpamitan kepada kepala sekolah dan Pak Jono untuk masuk ke kelas. Di kelas, Hadi memperkanalkan dirinya dan membaur  dengan cepat bersama teman-teman lainnya di kelasku. Aku sangat senang karena dapat membantu temanku, Hadi, agar dapat bersekolah kembali. Dalam hatiku, aku memiliki niatan untuk membantu lebih banyak orang lagi yang membutuhkan, dimulai dari orang-orang yang berada di dekatku karena aku tahu bahwa dengan membantu sesama akan membantuku mengembangkan sikap simpati dan empati,                                                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar